Kamis, 22 Maret 2012

Perbandingan Hukum Perjanjian Dalam Sistem Hukum Islam dengan Sistem Hukum Eropa Kontinental

TULISAN KE 2 
ADI MULIA TARMIZI
2EB22
20210150

A. Perjanjian Dalam Hukum Islam
Perjanjian dalam hukum Islam dikenal dengan istilah al-’aqd yang berarti perikatan, perjanjian, permufakatan. Secara terminologi fiqh akad didefinisikan dengan :
Pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada objek perikatan
Pencantuman kalimat ”dengan kehendak syariat” maksudnya adalah seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak dianggap sah apabila tidak sejalan dengan kehendak syara’. Misalnya, kesepakatan untuk melakukan transaksi riba, menipu orang lain, atau merampok kekayaan orang lain.
Sedangkan pencatuman kalimat ”berpengaruh pada objek perikatan” maksudnya terjadi perpindahan pemilikan/hak dari satu pihak (yang melakukan ijab) kepada pihak lain (yang melakukan qabul).[1]
  1. Rukun Akad
Terdapat perbedaan pendapat ulama fiqh dalam menentukan rukun suatu akad. Jumhur ulama menyatakan bahwa rukun akad adalah[2] :
- pernyataan untuk mengikatkan diri (shighat al-’aqd),
- pihak-pihak yang berakad (al-muta’aqidain)
- Objek akad (al-ma’qud ’alaih)
  1. Syarat-syarat Akad
Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam suatu akad:[3]
- Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak (ahli), tidak sah orang yang tidak cakap bertindak, seperti orang gila, orang yang berada dibawah pengampuan (mahjur) karena boros dan lainnya.
- Yang dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya.
- Akad diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya walaupun dia bukan aqid yang memiliki barang.
- Akad itu bukan akad yang dilarang syara’.
- Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadinya kabul. Maka bila seseorang yang berijab menarik kembali ijabnya sebelum kabul, maka batallah ijabnya.
- Ijab dan kabul mesti bersambung sehingga bila seseorang yang berijab sudah berpisah sebelum adanya kabul, maka ijabnya tersebut menjadi batal.
  1. Kemerdekaan mengemukakan syarat dalam akad[4]
Para ulama fiqh menetapkan bahwa akad yang telah memenuhi rukun dan syaratnya mempunyai kekuatan mengikat terhadap para pihak yang berakad. Setiap manusia memiliki kebebasan untuk mengikatkan diri pada suatu akad dan wajib dipenuhi segala akibat hukum yang ditimbulkan akad itu. Hal ini sejalan dengan firman Allah surat al-Maidah, 5:1.
Wahai orang-orang yang beriman penuhi akad itu...”
Ulama Hanafiah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa setiap orang yang melakukan akad bebas untuk mengemukakan dan menentukan syarat, selama syarat itu tidak bertentangan dengan kehendak syara’ dan tidak bertentangan pula dengan hakikat akad. Sedangkan menurut ulama Hanabilah dan malikiyah, pihak-pihak yang berakad bebas mengemukakan persyaratan dalan suatu akad selama syarat-syarat itu bermanfaat bagi kedua belah pihak.
  1. Berakhirnya akad[5]
Para ulama menyatakan suatu akad dapat berakhir apabila;
- Berakhirnya masa berlaku akad tersebut, apabila akad tersebut memiliki tenggang waktu.
- Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu sifatnya tidak mengikat.
- Dalam akad yang bersifat mengikat, suatu akad dianggap berakhir jika :
§ jual beli itu fasad, seperti terdapat unsur-unsur tipuan, salah satu rukun atau syarat tidak terpenuhi.
§ Berlakunya Khiyar
§ Akad itu tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak
§ Tercapainya tujuan akad itu secara sempurna
- Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia untuk akad-akad tertentu misalnya: sewa-menyewa, ar-rahn, al-wakalah, al-kafalah.
B. Perjanjian Dalam Hukum Eropa Kontinental
Perikatan Dalam sistem hukum eropa kontinental bahwa perikatan dilahirkan dari:[6]
- perjanjian; dan
- Undang-undang
Pengertian perikatan menurut hukum eropa kontinental adalah:[7]
Suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi
Prestasi yang dimaksud dalam buku III BW dapat berupa :[8]
- Menyerahkan suatu barang;
- Melakukan suatu perbuatan;
- Tidak melakukan suatu perbuatan.
1. Unsur-unsur perjanjian (rukun)[9]
- Adanya dua pihak atau lebih
- Adanya kata sepakat diantara para pihak
- Adanya akibat hukum yang ditimbulkan berupa hak dan kewajiban atau melakukan suatu perbuatan.
2. Syarat-syarat objek perikatan/prestasi
Objek perikatan atau prestasi harus memenuhi syarat-syarat:
- Harus tertentu dan dan dapat ditentukan
- Objeknya diperkenankan
- Prestasinya dimungkinkan
Syarat sahnya suatu perjanjian
Untuk syarat sahnya suatu perikakatan/perjanjian ditetapkan pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan orang yang tidak cakap membuat perjanjian adalah ;
i. Orang-orang yang belum dewasa;
ii. Dibawah pengampuan;
iii. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan UU, dan semua orang kepada siapa UU telah melarang membuat perjanjian tertentu.
c. Suatu hal tertentu yang diperjanjikan;
d. Suatu sebab yang halal (menurut UU)
3. Kemerdekaan/kebebasan membuat perjanjian
Hukum perjanjian menganut sistem terbuka artinya bahwa setiap orang boleh membuat perjanjian mengenai apa saja baik yang sudah ada ketentuan dalam UU maupun yang belum ada ketentuannya, asalkan tidak melanggar UU, ketertiban umum dan kesusilaan.
Hukum perjanjian bersikap sebagai hukum pelengkap, artinya pasal-pasal dalam buku III KUH Perdata dapat dikesampingkan berlakunya manakala para pihak membuat ketentuan sendiri.
4. Berakhirnya perjanjian
- Ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak
- UU menentukan batas berlakunya perjanjian
- Para pihak atau UU dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu maka perjanjian akan hapus
- Pernyataan penghentian perjanjian
- Perjanjian hapus karena putusan hakim
- Tujuan perjanjian telah tercapai
- Dengan perjanjian para pihak.
C. Persamaan Hukum Perjanjian Dalam Sistem Hukum Islam dengan Sistem Hukum Eropa Kontinental
Secara umum terlihat banyak kesamaan tentang hukum perjanjian antara kedua sistem hukum tersebut (seperti pada uraian diatas).
Keduanya mengatur tentang unsur-unsur perjanjian, syarat-syarat perjanjian, kebebasan membuat perjanjian dan berakhirnya suatu perjanjian. Walaupun terdapat perbedaan dalam rinciannya yang disebabkan filosofi hukum, istilah yang digumnakan, sumber hukum dan proses pencarian kedua hukum tersebut.
D. Perbedaan Hukum Perjanjian Dalam Sistem Hukum Islam dengan Sistem Hukum Eropa Kontinental
Secara garis besar perbedaan yang sangat relevan dan signifikan tentang perjanjian antara kedua sistem hukum tersebut adalah :
§ Perjanjian menurut hukum Islam sah bila tidak bertentangan dengan syariat sedangkan menurut hukum eropa kontinental perjanjian sah bila tidak bertentangan dengan UU.
§ Subjek perjanjian menurut hukum Islam adalah mukalaf yang ahli (baik laki-laki atau perempuan) dan tidak dalam pengampuan sedangkan dalam hukum eropa kontinental selain disyaratkan dewasa dan dan tidak dalam pengampuan, wanita yang menjadi istri tidak mempunyai hak untuk mengikatkan diri tanpa adanya izin dari suami (pasal ini tidak berlaku di RI dengan SE MA no. 1 tahun 1963).
§ Dalam Islam secara tegas dinyatakan perjanjian tidak boleh mengandung riba, ghoror dan maisyir. Dalam hukum eropa kontinental ini tidak diatur dengan rinci.
E. Analisa banding Hukum Perjanjian Dalam Sistem Hukum Islam dengan Sistem Hukum Eropa Kontinental
Secara umum hukum perjanjian dalam kedua sistem hukum tersebut memiliki banyak kesamaan Keduanya mengatur tentang unsur-unsur perjanjian, syarat-syarat perjanjian, kebebasan membuat perjanjian dan berakhirnya suatu perjanjian. Walaupun terdapat perbedaan dalam rinciannya yang disebabkan filosofi hukum, istilah yang digunakan, sumber hukum dan proses pencarian kedua hukum tersebut.
Hukum Islam bersumber dari al-Qur’an dan Hadits sedangkan hukum eropa kontinental bersumber dari Statue Law (hukum tertulis) yang sangat dipengaruhi pandangan hidup manusia pembuatnya yang sangat subjektif.
Walaupun ciri khas hukum eropa kontinental produk-produk hukumnya terkodifikasi dalam suatu hukum tertulis (UU) tapi khusus untuk perjanjian UU hanya sebagai pelengkap dari perjanjian, atau berlaku agium Lex specialis derogate lex generalis dimana lex spesialis adalah isi perjanjian tersebut dan lex generalis UU. Berlaku pula asas pacta sunt servanda, bahwa perjanjian berlaku laksana UU bagi mereka yang membuat. Hal ini serupa dengan sifat kebebasan menentukan syarat dalam akad pada hukum Islam, bahwa setiap orang yang melakukan akad bebas untuk mengemukakan dan menentukan syarat, selama syarat itu tidak bertentangan dengan kehendak syara’ dan tidak bertentangan pula dengan hakikat akad, pihak-pihak yang berakad bebas mengemukakan persyaratan dalam suatu akad selama syarat-syarat itu bermanfaat bagi kedua belah pihak.
Kemaslahatan yang ingin dicapai hukum eropa kontinental adalah melindungi kesusilaan dan kepentingan umum sedang hukum Islam juga berusaha mewujudkan hal tersebut yang dikenal dalam Maqasidul Syariah (melindungi agama, jiwa, akal, kehormatam dan harta), karena aspek melindungi agama ini menurut hemat penulis hukum Islam berbeda dengan hukum lainnya termasuk juga dalam hukum perjanjian, makanya dalam perikatan Islam tidak boleh mengandung riba, maisyir dan ghoror yang dilarang dalam syariat.

REFERENSI
http://yogiikhwan.blogspot.com/2007/08/perbandingan-hukum-perjanjian-dalam_30.html
 

HUKUM PERJANJIAN

TUGAS KE 4
ADI MULIA TARMIZI
2EB22
20210150

Latar Belakang Hukum Perjanjian

Dalam Burgerlijk Wetboek (BW) yang kemudian diterjemahkan oleh Prof. R. Subekti, SH dan R. Tjitrosudibio menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)[10] bahwa mengenai hukum perjanjian diatur dalam Buku III tentang Perikatan, dimana hal tersebut mengatur dan memuat tentang hukum kekayaan yang mengenai hak-hak dan kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau pihak-pihak tertentu. Sedangkan menurut teori ilmu hukum, hukum perjanjian digolongkan kedalam Hukum tentang Diri Seseorang dan Hukum Kekayaan karena hal ini merupakan perpaduan antara kecakapan seseorang untuk bertindak serta berhubungan dengan hal-hal yang diatur dalam suatu perjanjian yang dapat berupa sesuatu yang dinilai dengan uang. Keberadaan suatu perjanjian atau yang saat ini lazim dikenal sebagai kontrak, tidak terlepas dari terpenuhinya syarat-syarat mengenai sahnya suatu perjanjian/kontrak seperti yang tercantum dalam Pasal 1320 KUHPer, antara lain sebagai berikut:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.

Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya.

Istilah hukum perjanjian atau kontrak merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu contract law, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah overeenscomsrecht.[11] Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.[12] Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan anatara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan.

Dengan demikian perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya.

Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Perikatan adalah suatu perhubungan hukum anatara dua orang atau dua pihak, berdasarkan yang mana pihak yang satu berhak menunutut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.

Maka hubungan hukum antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan. Hubungan hukum adalah hubungan yang menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum disebabkan karena timbulnya hak dan kewajiban, dimana hak merupakan suatu kenikmatan, sedangkan kewajiban merupakan beban. Adapun unsur-unsur yang tercantum dalam hukum perjanjian/kontrak dapat dikemukakan sebagai berikut:[13]

1. Adanya kaidah hukum

Kaidah dalam hukum perjanjian dapat terbagi menjadi dua macam, yakni tertulis dan tidak tertulis. Kaidah hukum perjanjian tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum perjanjian tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam masyarakat, seperti: jual beli lepas, jual beli tahunan, dan lain sebagainya. Konsep-konsep hukum ini berasal dari hukum adat.



2. Subyek hukum

Istilah lain dari subjek hukum adalah rechtperson. Rechtperson diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban. Dalam hal ini yang menjadi subjek hukum dalam hukum kontrak adalah kreditur dan debitur. Kreditur adalah orang yang berpiutang, sedangkan debitur adalah orang yang berutang.


3. Adanya Prestasi

Prestasi adalah apa yang menjadi hak kreditur dan kewajiban debitur. Suatu prestasi umumnya terdiri dari beberapa hal sebagai berikut:
memberikan sesuatu;
berbuat sesuatu;
tidak berbuat sesuatu.

4. Kata sepakat

Di dalam Pasal 1320 KUHPer ditentukan empat syarat sahnya perjanjian seperti dimaksud diatas, dimana salah satunya adalah kata sepakat (konsensus). Kesepakatan ialah persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak.


5. Akibat hukum

Setiap Perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban.


C. Permasalahan

Dalam aspek kegiatan hukum sehari-hari dibidang perekonomian banyak ditemukan perbuatan-perbuatan hukum yang berkenaan dengan perjanjian atau kontrak antara dua pihak atau lebih. Umumnya mereka melakukan perjanjian-perjanjian dengan sistem terbuka, yang artinya bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian baik yang diatur maupun yang belum diatur di dalam suatu undang-undang, Hal ini sesuai dengan kriteria terbentuknya kontrak dimana berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) KUHPer menegaskan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Biasanya dalam suatu kontrak terdiri dari 6 (enam) bagian, yakni
1. judul perjanjian,
2. pembukaan,
3. pihak-pihak dalam perjanjian,
4. recital,
5. isi perjanjian, dan
6. penutup.

Dari enam bagian tersebut terdapat beberapa klausula umum seperti :
1) wanprestasi,
2) pilihan hukum dan pilihan forum,
3) domisili,
4) force majeur,
yang banyaknya tergantung dari kesepakatan para pihak.

Keberadaan suatu kontrak tidak terlepas dari asas-asas yang mengikatnya. Asas-asas dalam berkontrak mutlak harus dipenuhi apabila para pihak sepakat untuk mengikatkan diri dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum.

Namun demikian, seringkali ditemui ada beberapa kontrak yang dibuat tanpa berdasarkan asas-asas yang berlaku dalam suatu kontrak. Hal seperti ini terjadi karena disebabkan kekurangpahaman para pihak terhadap kondisi dan posisi mereka.

Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa hukum kontrak/perjanjian diatur dalam Buku III KUHPer, yang terdiri atas 18 bab dan 631 pasal. Dimulai dari Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1864 KUHPer. Secara garis besar, perjanjian yang diatur/dikenal di dalam KUHPer adalah sebagai berikut: Perjanjian jual beli, tukar-menukar, sewa-menyewa, kerja, persekutuan perdata, perkumpulan, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, bunga tetap dan abadi, untung-untungan, pemberian kuasa, penanggung utang dan perdamaian. Dalam teori ilmu hukum, perjanjian-perjanjian diatas disebut dengan perjanjian nominaat. Di luar KUHPer dikenal pula perjanjian lainnya, seperti kontrak joint venture, kontrak production sharing, leasing, franchise, kontrak karya, beli sewa, kontrak rahim, dan lain sebaginya. Perjanjian jenis ini disebut perjanjian innominaat, yakni perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup, dan berkembang dalam praktik kehidupan masyarakat. Keberadaan perjanjian baik nominaat maupun innominaat tidak terlepas dari adanya sistem yang berlaku dalam hukum perjanjian itu sendiri.


A. Sistem Pengaturan Hukum Kontrak

Sistem pengaturan hukum kontrak adalah sistem terbuka (open system), yang mengandung maksud bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian, baik yang sudah diatur maupun yang belum diatur di dalam undang-undang. Dalam pasal 1338 ayat (1) secara tegas menegaskan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Jika dianalisa lebih lanjut maka ketentuan pasal tersebut memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
1) membuat atau tidak membuat perjanjian;
2) mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
3) menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta
4) menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.

Ditinjau dalam sejarah perkembangannya, hukum kontrak pada awalnya menganut sistem tertutup. Artinya para pihak terikat pada pengertian yang tercantum dalam undang-undang. Hal ini disebabkan adanya pengaruh dari ajaran legisme yang memandang bahwa tidak ada hukum di luar undang-undang. Hal serupa dapat ditemui dan dibaca dalam berbagai putusan Hoge Raad dari tahun 1910 sampai dengan tahun 1919.[14]Untuk diketahui bahwa putusan Hoge Raad (HR) 1919 tanggal 31 Januari 1919 merupakan putusan yang terpenting. Putusan ini tentang penafsiran perbuatan melawan hukum, yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPer.

Dalam putusan tersebut, definisi perbuatan melawan hukum, tidak hanya melawan undang-undang saja, tetapi juga melanggar hak-hak subyektif orang lain, kesusilaan dan ketertiban umum.Menurut HR 1919 yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum adalah berbuat atau tidak berbuat yang:
1) Melanggar hak orang lain; yang diartikan melanggar sebagian hak-hak pribadi seperti integritas tubuh, kebebasan, kehormatan, dan lain-lain. Termasuk dalam hal ini hak-hak absolut sperti hak kebendaan, HKI, dan sebagainya.

2) Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku; yakni hanya kewajiban yang dirumuskan dalam aturan undang-undang.
3) bertentangan dengan kesusilaan; artinya perbuatan yang dilakukan oleh seseorang itu bertentangan dengan sopan santun yang tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
4) Bertentangan dengan kecermatan yang harus diindahkan dalam masyarakat;


Aturan tentang kecermatan terdiri atas dua kelompok, yakni:

1) aturan-aturan yang mencegah orang lain terjerumus dalam bahaya, dan

2) aturan-aturan yang melarang merugikan orang lain ketika hendak menyelenggarakan kepentingannya sendiri.

Putusan HR 1919 tidak lagi terikat kepada ajaran legisme, namun telah secara bebas merumuskan pengertian perbuatan melawan hukum, sebagaimana yang dikemukakan diatas.

Dengan demikian, sejak terbitnya putusan HR 1919 maka sistem pengaturan hukum kontrak berubah menjadi sistem terbuka.Jika ditelaah lebih lanjut maka definisi perbuatan melawan hukum yang dimaksud dalam HR 1919 serupa dengan salah satu syarat sahnya perjanjian yang keempat, yaitu suatu sebab yang halal, yang kemudian dikaitkan dengan Pasal 1337 KUHPer. Dengan demikian, penafsiran HR terhadap perbuatan melawan hukum itu mengacu kepada Pasal 1337 diatas mengenai suatu sebab yang terlarang, antara lain dilarang UU, berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.


B. Karakteristik Kontrak

Seperti diketahui bersama bahwa Hukum kontrak adalah bagian hukum perdata (privat). Hukum ini memusatkan perhatian pada kewajiban untuk melaksanakan kewajiban sendiri (self imposed obligation). Disebut sebagai bagian dari hukum perdata disebabkan karena pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam kontrak, murni menjadi urusan pihak-pihak yang berkontrak[15]

Kontrak, dalam bentuk yang paling klasik, dipandang sebagai ekspresi kebebasan manusia untuk memilih dan mengadakan perjanjian. Kontrak merupakan wujud dari kebebasan (freedom of contract) dan kehendak bebas untuk memilih (freedom of choice).[16]

Sejak abad ke-19 prinsip-prinsip itu mengalami perkembangan dan berbagai pergeseran penting. Pergeseran demikian disebabkan oleh: pertama, tumbuhnya bentuk-bentuk kontrak standar; kedua, berkurangnya makna kebebasan memilih dan kehendak para pihak, sebagai akibat meluasnya campur tangan pemerintah dalam kehidupan rakyat; ketiga, masuknya konsumen sebagai pihak dalam berkontrak. Ketiga faktor ini berhubungan satu sama lain.[17] Tetapi, prinsip kebebasan berkontrak dan kebebasan untuk memilih tetap dipandang sebagai prinsip dasar pembentukan kontrak.


C. Asas-asas Hukum Kontrak

Berdasarkan teori, di dalam suatu hukum kontrak terdapat 5 (lima) asas yang dikenal menurut ilmu hukum perdata. Kelima asas itu antara lain adalah: asas kebebasan berkontrak (freedom of contract), asas konsensualisme (concsensualism), asas kepastian hukum (pacta sunt servanda), asas itikad baik (good faith) dan asas kepribadian (personality). Berikut ini adalah penjelasan mengenai asas-asas dimaksud:

1. Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)

Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPer, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:

a. membuat atau tidak membuat perjanjian;
b. mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
c. menentukan isis perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta
d. menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.

2. Asas Konsensualisme (concensualism)

Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPer. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman. Didalam hukum Jerman tidak dikenal istilah asas konsensualisme, tetapi lebih dikenal dengan sebutan perjanjian riil dan perjanjian formal. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (dalam hukum adat disebut secara kontan). Sedangkan perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta otentik maupun akta bawah tangan). Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan contractus innominat. Yang artinya bahwa terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk yang telah ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUHPer adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.

3. Asas Kepastian Hukum (pacta sunt servanda)

Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPer. Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak yang melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah. Hal ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda diberi arti sebagao pactum, yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Sedangkan istilah nudus pactum sudah cukup dengan kata sepakat saja.

Ada tiga bentuk ingkar janji, yaitu :

1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali
2. Terlambat memenuhi prestasi, dan
3. Memenuhi prestasi secara tidak sah

Akibat munculnya wanprestasi ialah timbulnya hak pada pihak yang dirugikan untuk menuntut penggantian kerugian yang dideritanya terhadap pihak yang wanprestasi. Pihak yang wansprestasi memiliki kewajiban untuk membayar ganti rugi kepada pihak yang menderita kerugian. Tuntutan pihak yang dirugikan terhadap pihak yang menyebabkan kerugian berupa :

* Pemenuhan perikatan
* Pemenuhan perikatan dengan ganti rugi
* Ganti rugi
* Pembatalan persetujuan timbale balik, atau
* Pembatalan dengan ganti rugi

Syarat-syarat sah perjanjian

Suatu kontrak dianggap sah (legal) dan mengikat, maka perjanjian tersebut harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Menurut ketentuan pasal 1320 KUHP Perdata, ada empat syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian, yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Syarat pertama merupakan awal dari terbentuknya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan antara para pihak tentang isi perjanjian yang akan mereka laksanakan. Oleh karena itu timbulnya kata sepakat tidak boleh disebabkan oleh tiga hal, yaitu adanya unsur paksaan, penipuan, dan kekeliruan. Apabila perjanjian tersebut dibuat berdasarkan adanya paksaan dari salah satu pihak, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Pada saat penyusunan kontrak, para pihak khususnya manusia secara hukum telah dewasa atau cakap berbuat atau belum dewasa tetapi ada walinya. Di dalam KUH Perdata yang disebut pihak yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa dan mereka yang berada dibawah pengampunan.

3. Mengenai suatu hal tertentu

Secara yuridis suatu perjanjian harus mengenai hal tertentu yang telah disetujui. Suatu hal tertentu disini adalah objek perjanjian dan isi perjanjian. Setiap perjanjian harus memiliki objek tertentu, jelas, dan tegas. Dalam perjanjian penilaian, maka objek yang akan dinilai haruslah jelas dan ada, sehingga tidak mengira-ngira.

4. Suatu sebab yang halal

Setiap perjanjian yang dibuat para pihak tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Dalam akta perjanjian sebab dari perjanjian dapat dilihat pada bagian setelah komparasi, dengan syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif, yaitu syarat mengenai orang-orang atau subjek hukum yang mengadakan perjanjian, apabila kedua syarat ini dilanggar, maka perjanjian tersebut dapat diminta pembatalan.

REFERENSI
http://blognyayuwwdi.blogspot.com/2011/11/asas-asas-dalam-hukum-perjanjian.html

HUKUM PERDATA

TUGAS KE 3
ADI MULIA TARMIZI
2EB22

Hukum Perdata adalah ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan antara individu-individu dalam masyarakat. Dalam tradisi hukum di daratan Eropa (civil law) dikenal pembagian hukum menjadi dua yakni hukum publik dan hukum privat atau hukum perdata. Dalam sistem Anglo Sakson (common law) tidak dikenal pembagian semacam ini.

Sejarah Hukum Perdata

Hukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata Perancis yaitu yang disusun berdasarkan hukum Romawi 'Corpus Juris Civilis'yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Hukum Privat yang berlaku di Perancis dimuat dalam dua kodifikasi yang disebut (hukum perdata) dan Code de Commerce (hukum dagang). Sewaktu Perancis menguasai Belanda (1806-1813), kedua kodifikasi itu diberlakukan di negeri Belanda yang masih dipergunakan terus hingga 24 tahun sesudah kemerdekaan Belanda dari Perancis (1813)
Pada Tahun 1814 Belanda mulai menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri Belanda, berdasarkan kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh MR.J.M. KEMPER disebut ONTWERP KEMPER namun sayangnya KEMPER meninggal dunia 1824 sebelum menyelesaikan tugasnya dan dilanjutkan oleh NICOLAI yang menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Belgia. Keinginan Belanda tersebut terealisasi pada tanggal 6 Juli 1880 dengan pembentukan dua kodifikasi yang baru diberlakukan pada tanggal 1 Oktober 1838 oleh karena telah terjadi pemberontakan di Belgia yaitu :
  • BW [atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata-Belanda).
  • WvK [atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang]
Kodifikasi ini menurut Prof Mr J, Van Kan BW adalah merupakan terjemahan dari Code Civil hasil jiplakan yang disalin dari bahasa Perancis ke dalam bahasa nasional Belanda

KUHPerdata

Yang dimaksud dengan Hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi seluruh Wilayah di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata baratBelanda yang pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan B.W. Sebagian materi B.W. sudah dicabut berlakunya & sudah diganti dengan Undang-Undang RI misalnya mengenai UU Perkawinan, UU Hak Tanggungan, UU Kepailitan.
Pada 31 Oktober 1837, Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem di angkat menjadi ketua panitia kodifikasi dengan Mr. A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer masing-masing sebagai anggota yang kemudian anggotanya ini diganti dengan Mr. J.Schneither dan Mr. A.J. van Nes. Kodifikasi KUHPdt. Indonesia diumumkan pada tanggal 30 April 1847 melalui Staatsblad No. 23 dan berlaku Januari 1948.
Setelah Indonesia Merdeka berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, KUHPdt. Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum digantikan dengan undang-undang baru berdasarkan Undang – Undang Dasar ini. BW Hindia Belanda disebut juga Kitab Undang – Undang Hukun Perdata Indonesia sebagai induk hukum perdata Indonesia.

Isi KUHPerdata

KUHPerdata terdiri dari 4 bagian yaitu :
  1. Buku 1 tentang Orang / Van Personnenrecht
  2. Buku 2 tentang Benda / Zaakenrecht
  3. Buku 3 tentang Perikatan / Verbintenessenrecht
  4. Buku 4 tentang Daluwarsa dan Pembuktian / Verjaring en Bewijs
>> KEADAAN HUKUM PERDATA DI INDONESIA
Mengenai keadaan hukum perdata di Indonesia sekarang ini masih bersifat majemuk yaitu masih beraneka ragam. Faktor yang mempengaruhinya antara lain :
1. Faktor etnis
2. Faktor hysteria yuridis yang dapat kita lihat pada pasal 163 I.S yang membagi penduduk Indonesia dalam 3 golongan, yaitu :
a. Golongan eropa
b. Golongan bumi putera (pribumi/bangsa Indonesia asli)
c. Golongan timur asing (bangsa cina, India, arab)
Untuk golongan warga Negara bukan asli yang bukan berasal dari tionghoa atau eropa berlaku sebagian dari BW yaitu hanya bagian-bagian yang mengenai hukum-hukum kekayaan harta benda, jadi tidak mengenai hukum kepribadian dan kekeluargaan maupun yang mengenai hukum warisan.
Pedoman politik bagi pemerintahan hindia belanda terhadap hukum di Indonesia ditulis dalam pasal 131, I.S yang sebelumnya terdapat pada pasal 75 RR (Regeringsreglement) yang pokok-pokonya sebagai berikut :
1. Hukum perdata dan dagang (begitu pula hukum pidana beserta hukum acara perdata dan hukum acara pidana harus diletakkan dalam kitab undang-undang yaitu di kodifikasi).
2. Untuk golongan bangsa eropa harus dianut perundang-undangan yang berlaku di negeri belanda (sesuai azas konkordasi).
3. Untuk golongan bangsa Indonesia dan timur asing jika ternyata kebutuhan kemasyarakatan mereka menghendakinya.
4. Orang Indonesia asli dan timur asinng, selama mereka belum ditundukkan di bawah suatu peraturan bersama dengan suatu bangsa eropa.
5. Sebelumnya hukum untuk bangsa Indonesia ditulis dalam undang-undang maka bagi mereka hukum yang berlaku adalah hukum adat.


REFERENSI :

Jumat, 16 Maret 2012

MENGGAPAI HUKUM YANG BERKEADILAN

ADI MULIA TARMIZI
2EB22
TULISAN 1

Pada satu sisi hukum adalah peraturan dan pada sisi lain keadilan yang berdiri sendiri. Padahal keduanya memiliki hubungan yang tidak terpisahkan. Sebab ruh hukum adalah keadilan. sebab mengakhiri tahun 2010 ternyata ditutup dengan masih jauhnya kesenjangan antara hukum dan keadilan dan tulisan ini merupakan suatu pengharapan agar di awal tahun 2011 dan seterusnya terjadi perubahan realisasi ekspektasi masyarakat agar penegakan hukum lebih mencerminkan keadilan bagi masyarakat.

Gustav Radbruch (1878-1949), seorang ahli hukum Jerman mengatakan, “Hukum adalah kehendak untuk bersikap adil.” (Recht ist Wille zur Gerechtigkeit). Hukum positif ada untuk mempromosikan nilai-nilai moral, khususnya keadilan. Menurut teori etis, hukum semata-mata bertujuan keadilan. Isi hukum ditentukan oleh keyakinan kita yang etis tentang yang adil dan tidak. Oleh karena itu hukum betujuan untuk merealisir  atau mewujudkan keadilan

Memahami penegakan hukum yang terjadi, berbagai media masa memberitakan bagaimana semakin menjauhnya keadilan dari masyarakat. Berbagai putusan pengadilan belum memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Satjipto Rahardjo menilai dominasi pemahaman hukum yang terjadi saat ini cenderung legalistic-positifistik. Satjipto berkeyakinan bahwa hukum itu not only stated in the book tetapi juga hukum yang hidup di masyarakat (living law). Realitas yang ada menunjukan fenomena moralitas berbenturan dengan formalitas hukum yang menjemukan, melelahkan dan melukai rasa keadilan masyarakat. Jauh sebelumnya filsuf Aristoteles pernah menulis dalam “Politics”, hukum adalah penjamin paling meyakinkan prinsip keadilan dalam sebuah negara. 

Dipertanyakan dimanakah hukum yang adil itu saat ini ? Mengapa penegakan hukum tidak mencerminkan keadilan bagi masyarakat. Masyarakat menggapai membutuhkan pertolongan dimanakah keadilan itu. Apakah keadilan itu hanya merupakan impian. Hukum yang ditegakkan para penegak hukum hanyalah mencerminkan keadilan formal, bukan keadilan substantif. Hukum itu diciptakan bukanlah semata-mata untuk mengatur, tetapi lebih dari itu, untuk mencapai tujuan luhur, yakni keadilan, kebahagiaan dan kesejahteraan rakyat. Keadilan adalah tujuan tertinggi.

Keadilan yang coba dirumuskan dalam norma hukum tentu juga terbatas pada keadilan yang dipahami dan dirasakan oleh pembentuk hukum dan juga terbatas saat norma hukum itu dibentuk. Di sisi lain, rasa keadilan masyarakat senantiasa berkembang sejalan dengan perkembangan kondisi masyarakat itu sendiri. Hal itulah yang dapat menimbulkan praktik hukum yang kering dari keadilan atau bahkan penerapan hukum yang bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. Rasa keadilan masyarakat kerapkali terkoyak, karena beda spirit hukum dengan realita.

Dalam suatu negara hukum, penegakan hukum dan keadilan merupakan salah satu fungsi kedaulatan sutatu negara. David Storey, dalam bukunya Territory The Claiming of Space, menegaskan tentang peran dan fungsi negara, yaitu: 1. Mengatur perekonomian negara. 2. Menyediakan kebutuhan dan kepentingan publik terutama kesehatan dan transportasi. 3. Menyediakan perangkat hukum dan menegakkan keadilan bagi rakyatnya. 4. Membela dan menjaga territorial wilayahnya negara dan keamanan rakyatnya dari ancaman pihak luar (Storey, Prentice Hall, 2001: 39).

Perlu dipertanyakan, apakah negara sudah menyediakan perangkat hukum dan menegakkan keadilan bagi rakyatnya. Apakah perangkat hukum yang disediakan oleh negara dan penegakan hukumnya telah mencerminkan keadilan dalam masyarakat.  Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitas kehidupan” hukum. Penegakan hukum tidak dapat semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan hukum sebagaimana pendapat kaum legalistik. Menegakkan keadilan bukanlah sekadar menjalankan prosedur formal dalam peraturan hukum yang berlaku di suatu masyarakat, menegakkan nilai-nilai keadilan lebih utama daripada sekadar menjalankan berbagai prosedur formal perundang-undangan. Rasa keadilan tidak hanya tegak bila penegak hukum hanya menindak berlandaskan pasal dalam UU secara kaku dan tidak mengenali nilai keadilan yang substantif. Dalam pikiran para yuris, proses peradilan sering hanya diterjemahkan sebagai suatu proses memeriksa dan mengadili secara penuh dengan berdasarkan hukum positif semata-mata. Pandangan yang formal legistis ini mendominasi pemikiran para penegak hukum, sehingga apa yang menjadi bunyi undang-undang, itulah yang akan menjadi hukumnya.

Kelemahan utama pandangan ini adalah terjadinya penegakan hukum yang kaku, tidak diskresi dan cenderung mengabaikan rasa keadilan masyarakat karena lebih mengutamakan kepastian hukum. Proses mengadili – dalam kenyataannya – bukanlah proses yuridis semata. Proses peradilan bukan hanya proses menerapkan pasal-pasal dan bunyi undang-undang, melainkan proses yang melibatkan perilaku-perilaku masyarakat dan berlangsung dalam struktur sosial tertentu. Marc Galanter dalam penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat dapat menunjukkan bahwa suatu putusan hakim ibaratnya hanyalah pengesahan saja dari kesepakatan yang telah dicapai oleh para pihak. Dalam perspektif sosiologis, lembaga pengadilan merupakan lembaga yang multifungsi dan merupakan tempat untuk “record keeping”, “site of administrative processing”, “ceremonial changes of status”, “settlement negotiation”, “mediations and arbitration”, dan warfare.

Pengadilan yang merupakan representasi utama wajah penegakan hukum dituntut untuk mampu melahirkan tidak hanya kepastian hukum, melainkan pula keadilan, kemanfaatan sosial dan pemberdayaan sosial melalui putusan-putusan hakimnya. Kegagalan lembaga peradilan dalam mewujudkan tujuan hukum telah mendorong meningkatnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap pranata hukum dan lembaga-lembaga hukum. Untuk itu, suatu keputusan pengadilan harus benar-benar dipertimbangkan dari sudut moral, yaitu rasa keadilan masyarakat.

Hakim sebagai pemegang pedang keadilan harus selalu berwawasan luas dalam menerapkan hukum. Menjamin peraturan perundang-undangan diterapkan secara benar dan adil. Apabila penerapan peraturan perundang-undangan akan menimbulkan ketidakadilan, hakim wajib berpihak pada keadilan dan mengesampingkan peraturan perundang-undangan. Hakim bukan mulut undang-undang (la judge est la bouche qui prononce les paroles de la loi). Dalam ungkapan Gustaf Radbruch, bahwa terdapat keadilan di luar undang-undang (ubergezets liches recht) dan ketidakadilan undang-undang (gezets liches unrecht). Lawrence M. Friedman mengungkapkan bahwa hukum itu tidak seperti jubah timah di tubuh kita, melainkan berada di awang-awang, tidak tampak dan tidak terasa, selembut udara dalam sentuhan normal, selicin kaca segesit gelembung sabun (L.M. Friedman, 2001: 3). Pada kondisi-kondisi paradigma hukum seperti inilah maka sistim judge made law dan enacted law bersemayam secara misterius dalam pikiran dan nurani setiap hakim dengan tameng independensinya.  Ruh hukum itu adalah keadilan, sehingga jika suatu putusan dirasakan tidak adil, maka akuntabilitasnya pada kekuasaan pengadilan dalam setiap tingkatan, hakim itu sendiri dan pada Tuhannya.

Perintah bagi hakim untuk menegakan keadilan dapat dilihat dalam perintah Allah SWT yaitu bahwa “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (An Nisaa’, QS. 4: 58). “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat”. (An Nisaa’, QS. 4: 105). “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (An Nisaa’, QS. 4: 135). “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al Maa-idah, QS. 5: 8).

Kutipan ayat-ayat Al Qur’an di atas merupakan sebagian dari konsep teologik filosofis eksistensi kekhalifahan manusia di dunia yaitu berbuatlah adil bagi sekelilingmu. Konsepsi ini telah dituangkan dalam konsepsi sekuler universal dalam konteks Hak Asasi Manusia. Pada prinsipnya Hak Asasi Manusia menjamin bahwa setiap orang berhak mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum dalam suatu proses pemeriksaan yang adil dan terbuka yang diselenggarakan oleh suatu pengadilan yang independen dan netral. (Universal Declaration of Human Rights 1948 & International Covenant on Civil and Political Rights  1967). Hak Asasi Manusia juga dijamin dalam konstitusi bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. (Pasal 27 dan 28D UUD 1945).

Agar rakyat dapat menggapai harapannya, menggapai hukum yang berkeadilan, kembalikanlah hukum itu kepada ruh-nya, kepada akar moralitas dan relegiusnya untuk menghasilkan putusan yang adil. Filsuf Taverne mengatakan, “berikanlah saya seorang jaksa yang jujur dan cerdas, berikanlah saya seorang hakim yang jujur dan cerdas, maka dengan undang-undang yang buruk sekalipun, saya akan menghasilkan putusan yang adil”.

Harapan akan adanya penegakan hukum yang lebih tegas, mencerminkan rasa keadilan rakyat, kiranya perlu segera diwujudkan oleh segenap penegak hukum di Indonesia seperti Pengadilan, Kejaksaan, Kepolisian, Organisasi Pengacara.
Bukankah wewujudkan hukum yang berkeadilan merupakan  amanat UU No. 4 Tahun 2004 dan UU No. 5 Tahun 2004, dan merealisasikan Misi Mahkamah Agung yang menetapkan yaitu : Mewujudkan rasa keadilan sesuai dengan undang-undang dan peraturan, serta memenuhi rasa keadilan masyarakat; Mewujudkan Peradilan yang independen, bebas dari campur tangan pihak lain; Memperbaiki akses pelayanan di bidang Peradilan kepada masyarakat; Memperbaiki kualitas input internal pada proses Peradilan; Mewujudkan institusi peradilan yang efektif, efisien, bermartabat, dan dihormati; Melaksanakan kekuasaan kehakiman yang mandiri, tidak memihak, dan transparan. Semoga.

REFERENSI :
http://waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=177013:menggapai-hukum-yang-berkeadilan&catid=25:artikel&Itemid=44

Rabu, 07 Maret 2012

SUBJEK DAN OBJEK EKONOMI

ADI MULIA TARMIZI
2EB22


Subjek hukum ialah suatu pihak yang berdasarkan hukum telah mempunyai hak/kewajiban/kekuasaan tertentu atas sesuatu tertentu.

Pada dasarnya subjek hukum dapat dibedakan atas:

a. Manusia

b. Badan Usaha

Sejak lahirnya setiap orang pasti menjadi subjek hukum, seseorang itu menjadi subjek hukum sampai pada saat meninggalnya. Baru setelah kematianyalah seseorang dianggap berhenti menjadi subjek hukum.

Badan hukum ialah suatu badan usaha yang berdasarkan hukum yang berlaku serta berdasarkan pada kenyataan persyaratan yang telah dipenuhinya telah diakui sebagai badan hukum, yakni badan usaha yang telah dianggap atau digolongkan berkedudukan sebagai subjek hukum sehingga mempunyai kedudukan yang sama dengan orang, meskipun dalam menggunakan hak dan melaksanakan kewajibannya harus dilakukan atau diwakilkan melalui para pengurusnya.

Contoh-contoh badan hukum: PT (Perseroan Terbatas), Yayasan, PN (Perusahaan Negara), Perjan (Perusahaan Jawatan), dan sebagainya.


Objek hukum ialah segala sesuatu yang menjadi sasaran pengaturan hukum dimana segala hak dan kewajiban serta kekuasan subjek hukum berkaitan di dalamnya.

Misalkan benda-benda ekonomi, yaitu benda-benda yang untuk dapat diperoleh manusia memerlukan “pengorbanan” dahulu sebelumnya.

Hal pengorbanan dan prosudur perolehan benda-benda tersebut inilah yang menjadi sasaran pengaturan hukum dan merupakan perwujudan dari hak dan kewajiban subjek hukum yang bersangkutan sehingga benda-benda ekonomi tersebut menjadi objek hukum. Sebaliknya benda-benda non ekonomi tidak termasuk objek hukum karena untuk memperoleh benda-benda non ekonomi tidak diperlukan pengorbanan mengingat benda-benda tersebut dapat diperoleh secara bebas.

Akibatnya, dalam hal ini tidak ada yang perlu diatur oleh hukum. Karena itulah akan benda-benda non ekonomi tidak termasuk objek hukum. Misalkan sinar matahari, air hujan, hembusan angin, aliran air di daerah pegunungan yang terus mengalir melalui sungai-sungai atau saluran-saluran air.

Untuk memperoleh itu semua kita tidak perlu membayar atau mengeluarkan pengorbanan apapun juga, mengingat jumlahnya yang tak terbatas dan selalu ada. Lain halnya dengan benda-benda ekonomi yang jumlahnya terbatas dan tidak selalu ada, sehingga untuk memperolehnya diperlukan suatu pengorbanan tertentu, umpamanya melalui, pembayaran imbalan, dan sebagainya.

Akibat hukum ialah segala akibat.konsekuensi yang terjadi dari segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum terhadap objek hukum ataupun akibat-akibat lain yang disebabkan oleh kejadian-kejadian tertentu yang oleh hukum yang bersangkutan sendiri telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat hukum.

Akibat hukum inilah yang selanjutnya merupakan sumber lahirnya hak dan kewajiban lebih lanjut bagi subjek-subjek hukum yang bersangkutan.

Referensi :
http://ugaul.wordpress.com/2011/03/18/pengertian-subjek-hukum-objek-hukum-dan-akibat-hukum/

HUKUM DAN HUKUM EKONOMI

PENGERTIAN HUKUM DAN HUKUM EKONOMI 


ADI MULIA TARMIZI
2EB22










Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan di mana mereka yang akan dipilih. Administratif hukum digunakan untuk meninjau kembali keputusan dari pemerintah, sementara hukum internasional mengatur persoalan antara berdaulat negara dalam kegiatan mulai dari perdagangan lingkungan peraturan atau tindakan militer. filsuf Aristotle menyatakan bahwa "Sebuah supremasi hukum akan jauh lebih baik dari pada dibandingkan dengan peraturan tirani yang merajalela."




Pengertian hukum menurut para ahli 
Grotius
Perbuatan tentang moral yang menjamin keadilan.

Van Vanenhoven
Suatu gejala dalam pergaulan hidup yang bergolak terus menerus dalam keadaan berbenturan tanpa henti dari gejala-gejala lain.


Prof. Soedkno Mertokusumo

Keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama, keseluruhan peraturan tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan sanksi.

Mochtar Kusumaatmadja
Keseluruhan asas dan kaidah yang mengatur pergaulan hidup manusia dalam masyarakat, juga meliputi lembaga (institusi) dan proses yang mewujudkan kaidah tersebut dalam masyarakat.

Aristoteles
Sesuatu yang berbeda dari sekedar mengatur dan mengekspresikan bentuk dari konstitusi dan hukum berfungsi untuk mengatur tingkah laku para hakim dan putusannya di pengadilan untuk menjatuhkan hukuman terhadap pelanggar.

Hugo de Grotius
Peraturan tentang tindakan moral yang menjamin keadilan pada peraturan hukum tentang kemerdekaan (law is rule of moral action obligation to that which is right).

.HUKUM EKONOMI 

PENGERTIAN HUKUM EKONOMI

Hukum ekonomi adalah suatu hubungan sebab akibat atau pertalian peristiwa ekonomi yang saling berhubungan satu dengan yang lain dalam kehidupan ekonomi sehari-hari dalam masyarakat.
Menurut Sunaryati Hartono, hukum ekonomi adalah penjabaran hukum ekonomi pembangunan dan hukum ekonomi social, sehingga hukum ekonomi tersebut mempunyai 2 aspek yaitu :

1.Aspek pengaturan usaha-usaha pembangunan ekonomi
2.Aspek pengaturan usaha-usaha pembagian hasil pembangunan ekonomi secara merata diantara seluruh lapisan masyarakat.

Hukum ekonomi dapat dibedakan menjadi dua yaitu :
1.Hukum ekonomi pembangunan, adalah yang meliputi pengaturan dan pemikiran hukum mengenai cara-cara peningkatan dan pengembangan kehidupan ekonomi Indonesia secara nasional.
2.Hukum ekonomi social, adalah yang menyangkut pengaturan pemikiran hukum mengenai cara-cara pembagian hasil pembangunan ekonomi nasional secara adil dan martabat kemanusiaan (hak asasi manusia) manusia indonesia.
Sementara itu, hukum Indonesia menganut asas sebagai berikut :
1.Asas keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan YME,
2.Asas manfaat
3.Asas demokrasi pancasila
4.Asas adil dan merata
5.Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan dalam perikehidupan
6.Asas hukum
7.Asas kemandirian
8.Asas keuangan
9.Asas ilmu pengetahuan
10.Asas kebersamaan, kekeluargaan, keseimbangan, dan kesinambungan dalam kemakmuran rakyat
11.Asas pembangunan ekonomi yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan, dan
12.Asas kemandirian yang berwawasan kenegaraan. 



Contoh hukum ekonomi :
1. Jika harga sembako atau sembilan bahan pokok naik maka harga-harga barang lain biasanya akan ikut merambat naik.
2. Apabila pada suatu lokasi berdiri sebuah pusat pertokoan hipermarket yang besar dengan harga yang sangat murah maka dapat dipastikan peritel atau toko-toko kecil yang berada di sekitarnya akan kehilangan omset atau mati gulung tikar.
3. Jika nilai kurs dollar amerika naik tajam maka banyak perusahaan yang modalnya berasal dari pinjaman luar negeri akan bangkrut.
4. Turunnya harga elpiji / lpg akan menaikkan jumlah penjualan kompor gas baik buatan dalam negeri maupun luar negeri.
5. Semakin tinggi bunga bank untuk tabungan maka jumlah uang yang beredar akan menurun dan terjadi penurunan jumlah permintaan barang dan jasa secara umum.


TUJUAN DAN SUMBER HUKUM EKONOMI
TUJUAN HUKUM EKONOMI
• Untuk menjamin berfungsinya mekanisme pasar secara efisien dan lancar
• Untuk melindungi berbagai jenis usaha, khususnya jenis Usaha Kecil Menengah
  (UKM)
• Untuk membantu memperbaiki system keuangan dan system perbankan
• Memberikan perlindungan terhadap pelaku ekonomi
• Mampu memajukan kesejahteraan umum 



SUMBER HUKUM EKONOMI
SUMBER-SUMBER HUKUM
Sumber-sumber hukum adalah segala sesuatu yang dapat menimbulkan terbentuknya peraturan-peraturan. Peraturan tersebut biasanya bersifat memaksa. Sumber-sumber Hukum ada 2 jenis yaitu:
1. Sumber-sumber hukum materiil, yakni sumber-sumber hukum yang ditinjau dari berbagai perspektif.
2. Sumber-sumber hukum formiil, yakni UU, kebiasaan, jurisprudentie, traktat dan doktrin

Undang-Undang
ialah suatu peraturan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat yang dipelihara oleh penguasa negara. Contohnya UU, PP, Perpu dan sebagainya


Kebiasaan
ialah perbuatan yang sama yang dilakukan terus-menerus sehingga menjadi hal yang yang selayaknya dilakukan. Contohnya adat-adat di daerah yang dilakukan turun temurun telah menjadi hukum di daerah tersebut.

Keputusan Hakim (jurisprudensi)
ialah Keputusan hakim pada masa lampau pada suatu perkara yang sama sehingga dijadikan keputusan para hakim pada masa-masa selanjutnya. Hakim sendiri dapat membuat keputusan sendiri, bila perkara itu tidak diatur sama sekali di dalam UU

Traktat
ialah perjanjian yang dilakukan oleh dua negara ataupun lebih. Perjanjian ini mengikat antara negara yang terlibat dalam traktat ini. Otomatis traktat ini juga mengikat warganegara-warganegara dari negara yang bersangkutan.

Pendapat Para Ahli Hukum (doktrin)
Pendapat atau pandangan para ahli hukum yang mempunyai pengaruh juga dapat menimbulkan hukum. Dalam jurisprudensi, sering hakim menyebut pendapat para sarjana hukum. Pada hubungan internasional, pendapat para sarjana hukum sangatlah penting.


REFERENSI