Jumat, 16 Maret 2012

MENGGAPAI HUKUM YANG BERKEADILAN

ADI MULIA TARMIZI
2EB22
TULISAN 1

Pada satu sisi hukum adalah peraturan dan pada sisi lain keadilan yang berdiri sendiri. Padahal keduanya memiliki hubungan yang tidak terpisahkan. Sebab ruh hukum adalah keadilan. sebab mengakhiri tahun 2010 ternyata ditutup dengan masih jauhnya kesenjangan antara hukum dan keadilan dan tulisan ini merupakan suatu pengharapan agar di awal tahun 2011 dan seterusnya terjadi perubahan realisasi ekspektasi masyarakat agar penegakan hukum lebih mencerminkan keadilan bagi masyarakat.

Gustav Radbruch (1878-1949), seorang ahli hukum Jerman mengatakan, “Hukum adalah kehendak untuk bersikap adil.” (Recht ist Wille zur Gerechtigkeit). Hukum positif ada untuk mempromosikan nilai-nilai moral, khususnya keadilan. Menurut teori etis, hukum semata-mata bertujuan keadilan. Isi hukum ditentukan oleh keyakinan kita yang etis tentang yang adil dan tidak. Oleh karena itu hukum betujuan untuk merealisir  atau mewujudkan keadilan

Memahami penegakan hukum yang terjadi, berbagai media masa memberitakan bagaimana semakin menjauhnya keadilan dari masyarakat. Berbagai putusan pengadilan belum memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Satjipto Rahardjo menilai dominasi pemahaman hukum yang terjadi saat ini cenderung legalistic-positifistik. Satjipto berkeyakinan bahwa hukum itu not only stated in the book tetapi juga hukum yang hidup di masyarakat (living law). Realitas yang ada menunjukan fenomena moralitas berbenturan dengan formalitas hukum yang menjemukan, melelahkan dan melukai rasa keadilan masyarakat. Jauh sebelumnya filsuf Aristoteles pernah menulis dalam “Politics”, hukum adalah penjamin paling meyakinkan prinsip keadilan dalam sebuah negara. 

Dipertanyakan dimanakah hukum yang adil itu saat ini ? Mengapa penegakan hukum tidak mencerminkan keadilan bagi masyarakat. Masyarakat menggapai membutuhkan pertolongan dimanakah keadilan itu. Apakah keadilan itu hanya merupakan impian. Hukum yang ditegakkan para penegak hukum hanyalah mencerminkan keadilan formal, bukan keadilan substantif. Hukum itu diciptakan bukanlah semata-mata untuk mengatur, tetapi lebih dari itu, untuk mencapai tujuan luhur, yakni keadilan, kebahagiaan dan kesejahteraan rakyat. Keadilan adalah tujuan tertinggi.

Keadilan yang coba dirumuskan dalam norma hukum tentu juga terbatas pada keadilan yang dipahami dan dirasakan oleh pembentuk hukum dan juga terbatas saat norma hukum itu dibentuk. Di sisi lain, rasa keadilan masyarakat senantiasa berkembang sejalan dengan perkembangan kondisi masyarakat itu sendiri. Hal itulah yang dapat menimbulkan praktik hukum yang kering dari keadilan atau bahkan penerapan hukum yang bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. Rasa keadilan masyarakat kerapkali terkoyak, karena beda spirit hukum dengan realita.

Dalam suatu negara hukum, penegakan hukum dan keadilan merupakan salah satu fungsi kedaulatan sutatu negara. David Storey, dalam bukunya Territory The Claiming of Space, menegaskan tentang peran dan fungsi negara, yaitu: 1. Mengatur perekonomian negara. 2. Menyediakan kebutuhan dan kepentingan publik terutama kesehatan dan transportasi. 3. Menyediakan perangkat hukum dan menegakkan keadilan bagi rakyatnya. 4. Membela dan menjaga territorial wilayahnya negara dan keamanan rakyatnya dari ancaman pihak luar (Storey, Prentice Hall, 2001: 39).

Perlu dipertanyakan, apakah negara sudah menyediakan perangkat hukum dan menegakkan keadilan bagi rakyatnya. Apakah perangkat hukum yang disediakan oleh negara dan penegakan hukumnya telah mencerminkan keadilan dalam masyarakat.  Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitas kehidupan” hukum. Penegakan hukum tidak dapat semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan hukum sebagaimana pendapat kaum legalistik. Menegakkan keadilan bukanlah sekadar menjalankan prosedur formal dalam peraturan hukum yang berlaku di suatu masyarakat, menegakkan nilai-nilai keadilan lebih utama daripada sekadar menjalankan berbagai prosedur formal perundang-undangan. Rasa keadilan tidak hanya tegak bila penegak hukum hanya menindak berlandaskan pasal dalam UU secara kaku dan tidak mengenali nilai keadilan yang substantif. Dalam pikiran para yuris, proses peradilan sering hanya diterjemahkan sebagai suatu proses memeriksa dan mengadili secara penuh dengan berdasarkan hukum positif semata-mata. Pandangan yang formal legistis ini mendominasi pemikiran para penegak hukum, sehingga apa yang menjadi bunyi undang-undang, itulah yang akan menjadi hukumnya.

Kelemahan utama pandangan ini adalah terjadinya penegakan hukum yang kaku, tidak diskresi dan cenderung mengabaikan rasa keadilan masyarakat karena lebih mengutamakan kepastian hukum. Proses mengadili – dalam kenyataannya – bukanlah proses yuridis semata. Proses peradilan bukan hanya proses menerapkan pasal-pasal dan bunyi undang-undang, melainkan proses yang melibatkan perilaku-perilaku masyarakat dan berlangsung dalam struktur sosial tertentu. Marc Galanter dalam penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat dapat menunjukkan bahwa suatu putusan hakim ibaratnya hanyalah pengesahan saja dari kesepakatan yang telah dicapai oleh para pihak. Dalam perspektif sosiologis, lembaga pengadilan merupakan lembaga yang multifungsi dan merupakan tempat untuk “record keeping”, “site of administrative processing”, “ceremonial changes of status”, “settlement negotiation”, “mediations and arbitration”, dan warfare.

Pengadilan yang merupakan representasi utama wajah penegakan hukum dituntut untuk mampu melahirkan tidak hanya kepastian hukum, melainkan pula keadilan, kemanfaatan sosial dan pemberdayaan sosial melalui putusan-putusan hakimnya. Kegagalan lembaga peradilan dalam mewujudkan tujuan hukum telah mendorong meningkatnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap pranata hukum dan lembaga-lembaga hukum. Untuk itu, suatu keputusan pengadilan harus benar-benar dipertimbangkan dari sudut moral, yaitu rasa keadilan masyarakat.

Hakim sebagai pemegang pedang keadilan harus selalu berwawasan luas dalam menerapkan hukum. Menjamin peraturan perundang-undangan diterapkan secara benar dan adil. Apabila penerapan peraturan perundang-undangan akan menimbulkan ketidakadilan, hakim wajib berpihak pada keadilan dan mengesampingkan peraturan perundang-undangan. Hakim bukan mulut undang-undang (la judge est la bouche qui prononce les paroles de la loi). Dalam ungkapan Gustaf Radbruch, bahwa terdapat keadilan di luar undang-undang (ubergezets liches recht) dan ketidakadilan undang-undang (gezets liches unrecht). Lawrence M. Friedman mengungkapkan bahwa hukum itu tidak seperti jubah timah di tubuh kita, melainkan berada di awang-awang, tidak tampak dan tidak terasa, selembut udara dalam sentuhan normal, selicin kaca segesit gelembung sabun (L.M. Friedman, 2001: 3). Pada kondisi-kondisi paradigma hukum seperti inilah maka sistim judge made law dan enacted law bersemayam secara misterius dalam pikiran dan nurani setiap hakim dengan tameng independensinya.  Ruh hukum itu adalah keadilan, sehingga jika suatu putusan dirasakan tidak adil, maka akuntabilitasnya pada kekuasaan pengadilan dalam setiap tingkatan, hakim itu sendiri dan pada Tuhannya.

Perintah bagi hakim untuk menegakan keadilan dapat dilihat dalam perintah Allah SWT yaitu bahwa “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (An Nisaa’, QS. 4: 58). “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat”. (An Nisaa’, QS. 4: 105). “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (An Nisaa’, QS. 4: 135). “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al Maa-idah, QS. 5: 8).

Kutipan ayat-ayat Al Qur’an di atas merupakan sebagian dari konsep teologik filosofis eksistensi kekhalifahan manusia di dunia yaitu berbuatlah adil bagi sekelilingmu. Konsepsi ini telah dituangkan dalam konsepsi sekuler universal dalam konteks Hak Asasi Manusia. Pada prinsipnya Hak Asasi Manusia menjamin bahwa setiap orang berhak mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum dalam suatu proses pemeriksaan yang adil dan terbuka yang diselenggarakan oleh suatu pengadilan yang independen dan netral. (Universal Declaration of Human Rights 1948 & International Covenant on Civil and Political Rights  1967). Hak Asasi Manusia juga dijamin dalam konstitusi bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. (Pasal 27 dan 28D UUD 1945).

Agar rakyat dapat menggapai harapannya, menggapai hukum yang berkeadilan, kembalikanlah hukum itu kepada ruh-nya, kepada akar moralitas dan relegiusnya untuk menghasilkan putusan yang adil. Filsuf Taverne mengatakan, “berikanlah saya seorang jaksa yang jujur dan cerdas, berikanlah saya seorang hakim yang jujur dan cerdas, maka dengan undang-undang yang buruk sekalipun, saya akan menghasilkan putusan yang adil”.

Harapan akan adanya penegakan hukum yang lebih tegas, mencerminkan rasa keadilan rakyat, kiranya perlu segera diwujudkan oleh segenap penegak hukum di Indonesia seperti Pengadilan, Kejaksaan, Kepolisian, Organisasi Pengacara.
Bukankah wewujudkan hukum yang berkeadilan merupakan  amanat UU No. 4 Tahun 2004 dan UU No. 5 Tahun 2004, dan merealisasikan Misi Mahkamah Agung yang menetapkan yaitu : Mewujudkan rasa keadilan sesuai dengan undang-undang dan peraturan, serta memenuhi rasa keadilan masyarakat; Mewujudkan Peradilan yang independen, bebas dari campur tangan pihak lain; Memperbaiki akses pelayanan di bidang Peradilan kepada masyarakat; Memperbaiki kualitas input internal pada proses Peradilan; Mewujudkan institusi peradilan yang efektif, efisien, bermartabat, dan dihormati; Melaksanakan kekuasaan kehakiman yang mandiri, tidak memihak, dan transparan. Semoga.

REFERENSI :
http://waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=177013:menggapai-hukum-yang-berkeadilan&catid=25:artikel&Itemid=44

Tidak ada komentar:

Posting Komentar